Senin, 17 Agustus 2020

Kumbayana

Syahdan prabu Kurupati mengadakan pembicaraan dengan para Korawa, tampak hadir patih Sakuni, raden arya Dursasana, Durmagati, Kartamarma, Surtayu, Citraksa dan Citraksi. Masalahnya berkisar pada kehendak raja untuk mendapatkan pusaka mendiang prabu Pandudewanata ( Gandawastra ) yang bernama cupu Madiwara, konon berisi lisah (minyak) tala, sangat sakti dan bertuah. Barang siapa yang dapat memilikinya, akan terkabul segala permintaannya, sayang sekali pusaka tersebut sekarang jauh di dalam sumur Jalatundha. Kehendak raja tiada berubah untuk memilikinya, patih arya Sakuni beserta para Korawa ditugaskan oleh raja untuk pergi ke sumur Jalatundha mendapatkan cupu Madiwara tersebut, maka berangkatlah mereka menunaikan tugasnya.

Raja pun segera pergi melapor kepada ayah dan ibundanya, ialah bagawan Dastarastra dan Dewi Anggendarim bahwasanya hari itu telah mengutus arya Sakuni dan para Korawa pergi ke sumur Jalatundha untuk mendapatkan cupu Madiwara yang berisi lisah Tala. Bagawan Dastarastra beserta permaisuri sangat bersukacita mendengarnya.

Di kerajaan Bulukatiga, prabu Krepaya berputra dua orang, yang tertua bernama raden Krepa, dan yang muda adiknya bernama Dewi Krepini, yang sudah dewasa juga. Prabu Krepaya berkehendak akan mengawinkan anaknya raden Krepa, patih Dendapati mendukung akan maksud raja. Raja bersabda pula bahwasanya tersiar berira, di seberang daratan negara tetangga, ada suatu kerajaan namanya Cempalareja, raden arya Gandamanalah yang memerintahnya. Pada waktu ini raden Gandamana mengadakan sayembara prang, barang siap yang dapat mengalahkannya dalam pertempuran dengan raden Gandamana, akan mendapat putri boyongan adiknya, yang bernama Dewi Gandawati, lagipula akan dinobatkan menjadi raja di kerajaan Cempalareja.



Kepada raden Krepa, ayahandanya menanyakan apakah bersedia dikawinkan dengan Dewi Gandawati, dijawab bersedia. Selanjutnya raja bertitah kepada wadyabala raksasanya, utnuk memasuki sayembara prang, kelak jika mereka menang, kepadanya akan diberikan hadiah dan penghargaan. Berangkatlah utusan raja, wadyabala rotadanawa terdiri dari Kalasaramba, Kalasarana, Kalakardana, dan pandu jalannya kyai Togog dan Sarawita, berangkat menuju Cempalareja. Dipertengahan jalan, mereka bertemu dengan wadyabala Astina, sehingga terjadi peperangan.Mereka masing-masing berkehendak untuk melibatkan lebih jauh dalam perselisihan, sehingga kedyua-duanya pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Di pertapaan Retawu begawan Abyasa duduk di sanggar pemujaan dihadap cucundanya raden Pamade, beserta para panakawan kyai lurah Semar, Nalagareng, dan Petruk. Telah putus segala ilmu pengetahuan kebijaksanaan dan keperwiraan yang diberikan begawan Abyasa kepada cucunya raden Pamade, kepadanya diperintahkan pada hari itu juga harus cepat-cepat kembali ke praja Amarta. Selanjutnya diberitakan pula, bahwasanya bagawan Abyasa mendapat petunjuk dewata, bahwasanya akan datang di tanah Jawa, pandita yang sangat arif dan bijaksana, lagipula pandita tersebut sangat menguasai segala ilmu dan aji kawijayan. Kepada Para Pandawa ditugaskan untuk mendekati begawan pandita tersebut, dan kepadanya hendaknya yang berisi lisah (minyak) Tala, konon cupu Madiwara tersebut milik prabu Pandudewanata yang dibuwangnya kedalam sumur Jalatunda. Radem Pamade setelah menerima segala sabda sang begawan Abyasa, segera bermohon diri, untuk segera menuju praja Amarta, tak ketinggalan kyai lurah Semar, Nalagareng dan Petruk turut mengiringkannya. Dalam perjalanan menuju Amarta, di tengah hutan bertemu dengan raksasa, terjadilah peperangan, raden Pamade dapat membunuhnya.

Ada seorang raja 'namanya Baratmeja, sangat arif dan bijaksana , algipula sang raja juga seorang resi dan padanya sifat-sifat kepanditaannya sangat menonjol, terkenallah sudah dengan sebutannya raja pandita gunung Jebangan, di tanah Atasangin.Pada suatu ketika raja pandita Baratmeja berkenan berbincang-bincang dengan putranya, yang bernama Bambang Kumbayana, dia tak ubahnya dengan sang raja pandita, muda bijaksana dan sangat sakti memiliki segala ilmu keprajuritan, lagi pula rupawan dan baik hati. Kepadanya raja pandita Baratmeja menyampaikan keinginannya, Bambang Kumbayana diharapkan dengan sangat untuk mencari jodoh, manakala pula sudah waktunya mempersunting kenya. Agaknya Bambang Kumbayana tak dapat memenuhi anjuran ayahandanya untuk segera mencari pasangan hidupny, kepadanya diceritakan pula oleh sang raja pandita bahwasanya di kerajaan Cempalareja tersiar kabar diadakan sayembara prang. Maksud sayembara prang. Maksud sayembara tersebut, barang siapa dapat bertanding dan mengalahkan ksatriya Cempalareja yang bernama Gandamana, si pemenang akan dirajakan di Cempalareja, lagipula akan diperjodohkan dengan saudara tuanya yang bernama retna Gandawati, raja pandita selanjutnya menjelaskan bahwasanya banyak raja-raja yang menginginkan retna andawati, malahan keponakannya sendiri, ialah raden Sucitra malahan telah mendahului pergi memasuki sayembara, Bambang Kumbayana segera diseyogyakan untuk menyusul keberangkatan raden sucitra.Setelah jelas segala yang dipesankan oleh ayahandanya, berangkatlah Bambang Kumbayana ke kerajaan Cempalareja.

Dalam perjalanannya, sampailah sudah Bambang Kumbayana di tepian bengawan yang baru pasang airnya, sangat susahlah Bambang Kumbayana menghadapi keadaan yang demikian itu, sehingga tercetuslah ungkapan janjinya, barang siapa saja yang dapat membawanya ke seberang, kalau lelaki akan dijadikan saudaranya, dan kalau wanita akan dijadikan jodohnya. Janji Bambang Kumbayana didengar pula oleh para Dewa, maka muncullah seekor kuda betina dihadapan Bambang Kumbayana. Sangat senang Bamabng Kumbayana menemukan seekor kuda tinggangan, segera dinaikinya dan dibawanya menyeberang. Manakala sedang di atas kuda, Bambang Kumbayana melamun akan keindahan paras Dewi Gandawati, sehingga dengan tak disadarinya keluarlah airmaninya.

Airmani yang jatuh berubah menjadi buih-buih, k uda betina menjilatinya buih-buih tadi, selama dalam penyeberangan, sudah menjadi kehendak Dewa kuda betina mengandung. Sampailah sudah di seberang bengawan. Bamabng Kumbayana turun dari punggung kuda, namun kuda yang telah dileas, tak mau juga untuk pergi menjauh. Berjkali-kali diusir, sekian kali mendekat pula. Bambang Kumbayana ingat akan janji yang telah diucapkannya, menjadari tindakan kuda betina sangat mencurigakan, jika sekiranya bukan kuda tentu saja gerak-geriknya mengajak untuk bermain asmara. Sangat malu Bambang Kumbayana melihat kejadian tersebut, diunusnya kerisnya dan ditikam, mati.
Keluarlah dari bekas goresan keris yang diperut kuda seorang bayi menangis merengek-rengek, namun bangkai kuda hilang tak berbekas. Bamabng Kumbayana terheran-heran, bayi didekatinya. Tak lama tampaklah seorang bidadari amat cantik turun ke bumi mendekati Bambang Kumbayana, namanya Dewi Wilutama. Sang Dewi mengata-katai Bambang Kumbayana, di mana sudah ingkar akan janjinya. Sadar akan kekeliruannya, Bambang Kumbayana segera memungut bayi, dan menamakan Bambang Aswatama, melanjutkan perjalannya.

Prabu Krepaya, raja dari kerajaan Bulukatiga yang sedang dihadap oleh petihnya yang bernama Dendapati, menerima laporan inang karaton. Bahwasanya putra raja bernama Dewi Krepini, tak sadarkan diri, apa yang menyebabkan inang pengasuh tadi tak dapat melaporkan, tentu saja raja sangat gugup mendengar laporan tersebut, segera raja pergi ke tempat parduan putrinya di dalam kraton.

Setelah raja bertemu dengan permaisuri ialah Dewi Astuti, segera dilaporkannya bahwa putri raja telah sadarkan diri, dan bahwasanya putri raja dalam tidurnya telah bermimpi bertemu dengan seorang ksatriya yang sangat rupawan bernama Bambang Kumbayana, berasal dari Atasangin. Mendengar laporan permaisuri, raja bertekad menemukan Bambang Kumbayana , dan kepada permaisuri raja bersabda akan pergi sendiri, kepada putrinya diperintahkan untuk bersuci diri, memandikan seluruh anggota badannya dengan
Wewangian.

Bambang Kumbayana yang merasa dirinya sangat letih menggendong bayi Bambang Aswatama, beristirahat di bawah pohon yang rindang di tengah hutan. Datanglah prabu Krepaya, setelah dipersilahkan duduk, mereka terlihat dalam percakapan-percakapan yang menarik. Bambang Kumbayana setelah memperkenalkan diri, kepadanya diajukan pengusulan apakah bersedia dijodohkan dengan putri prabu Krepaya yang bernama Dewi Krepini, Bambang Kumbayana menolak. Akhirnya terjadilah peperangan, Bambang Kumbayana dapat ditundukan, dan dibawanya ke kerajaan Bulutiga. Sesampai di istana, Bambang Kumbayana diperintahkan menunggu di luar kadhataon, prabu Krepaya menemui Dewi Astuti sang permaisuri dan putrinya Dewi Krepini, kepada mereka dijelaskan bahwasanya Bambang Kumbayana telah berada di luar kedhaton. Raja memutuskan mereka segera dijodohkan, Dewi Krepini menjadi istri Bambang Kumbayana. Pada suatu malam penganten, Bambang Kumbayana terpaksa menerangkan kepada istrinya ialah Dewi Krepini, bahwasanya bayi yang dibawanya adalah putra Bambang Kumbayana, Dewi Krepini menyadarinya, kepadanya segera disarankan untuk mengambil putra dan untuk disusui bayi bayi Bambang Aswatama, sudah menjadi kehendak dewa. Bayi yang tidak terlahir dari rahim Dewi Krepini, namun keluar juga air susuibu dari Dewi Krepini. Seluruh istana, para kawula praja, prabu Krepaya dan permaisuri Dewi Astuti, sangat bergembira mendapatkan cucu seorang bayi rupawan, menganggapnya sebagai putra pujan (ciptaan). Bambang Kumbayana, pada suatu malam, dikala seluruh isi penghuni istana lelap tidur, pergi meninggalkan istri dan istana Bulutiga, untuk melanjutkan perjalanannya, tak seorangpun yang tahu kemana perginya.

Raden arya Gandamana, dihadap patih Trustaketu dan wadyabalanya menerima kedatangan ksatriya rupawan dari Atasangin, bernama Bambang Sucitra. Setelah diketahui bahwa kedatangannya tak lain akan memasuki sayembara prang, segera radem arya Gandamana memerintahkan kepada patih Trustaketu untuk mempersiapkan papan laga di alun-alun, di mana keduanya segera memasuki arena pertarungan. Raden arya Gandamana dan Bambang Sucutra bertarung dengan segala kekuatan, mengadu segala kesaktian, namun dengan gada sakti Bambang Sucitra, dan selanjutnya hendaknya dinobatkan menjadi raja menggantikan arya Gandamana, tak lupa segeralah dijodohkan dengan Dewi Gandawati. Jadilah sudah Bambang Sucitra menjadi raja di kerajaan Cempalareja, beristrikan Dewi Gandawati, adapun radem arya Gandamana lolos dari kerajaan pergi menurutkan kehendak hatinya, melanglang bumi.

Dalam perjalanannya, di tengah jalan bertemu dengan Bambang Kumbayana, dan setelah kedua-duanya menjelaskan nama beserta asal lagi pula maksud dan tujuannya, raden arya Gandamana bangkit kemarahannya kepada Bambang Kumbayana, dipukulnya dihajar habis-habisan Bambang Kumbayana . Kadua lengannya dibengkokan, Bambang Kumbayana mengaduh kesakitan, dan jatuh tak sadarkan diri. Bambang Kumbayana segera dilempar jauh-jauh oleh raden arya Gandamana, konon jatuh di bawah pohon Soka yang jumlahnya 5 buah. Hyang Narada dan hyang Bayu turun ke bumi, mendekati Bambang Kumbayana, dan dirinya segera ditetesi air Kamandanu, seketika bangkit dari ketidaksadarannya, akan tetapi sebagian anggota tubuhnya masih teta[ cacadm kaki hidung tangan dan lengan kesemuanya tak sempurna lagi. Bambang Kumbayana setelah menyadari bahwa para dewa mendatanginya, segera memohon kepadanya lebih baik dibunuh saja, daripada cacad diri. Akan tetapi hyang Narada dan hyang Bayu tak mengijinkan Bambang Kumbayana untuk bunuh diri, kepadanya disabdakan bahwa kelak kuasa dewa menjadikannya sebagai guru besar dari para ksatriya di seluruh bumi, lagi pula kepadanya diberi nama Durna, diperkenankan melestarikan tempat di mana dia jatuh sebagai pasramannya, dengan nama Sokalima, bergelarkan pandita, setelahnya para dewa kembali ke kahyangan. Seungkurnya para dewa, para Pandawa yang terdiri dari prabuanom Puntadewa, raden arya Bratasena, raden Pamade, Pinten dan Tangsen menghadap pandita Durna. Sang resi sangat suka hatinya, dan berkenan pula mengajarinya segala ilmu keprajuritan dan kesaktian.

Pada suatu hari, para Pandawa memaksa kepada gurunya sudilah kiranya mengambilkan cupu Madiwara yang berisi lisah Tala, yang konon milik Prabu Pandudewanata almarhum, yang masih merupakan orang tuanya sendiri, sang resi menurutinya untuk mengambilkan cupu Madiwara, mereka segera berangkat menuju sumur Jalatunda.

Dalam perjalanannya menuju sumur Jalatunda, bertemulah mereka dengan prabu Kurupati besrta para Korawa dan patih Sakuni, di mana para Korawa sesuai dengan pertunjuk ayahnya ialah prabu Destarastra, bahwa kelak kemudian hari cupu Madiwara dapat diangkat dari sumur Jalatunda oleh pandita asal dari Atasangin. Bak pucuk dicinta ualam tiba, prabu Kurupati dan adik-adiknya Korawa segera mengaku guru juga kepada pandita Durna, dan sang panditapun menerima mereka sebagai siswa-siswanya. Lajulah mereka menuju ke sumur Jalatunda, mengiringkan kepergian sang pandita Durna. Para Korawa dan Pandawa berdiri berjajar-jajar ditepian sumur Jalatunda, segera pandita Durna memuja mengeluarkan senjata saktinya, berwujud panah barawakan burung, namanya Sarutama. Resi Durna memerintahkan kepada Sarutama utnuk masuk ke dalam sumur mengambil cupu yang di dalam, segera burung Sarutama terbang meluncur ke dalam sumur masuk di air keluar paruhnya sudah memagut membawa serca cupu sakti Madiwara, diterima oleh resi Durna.

Korawa dan Pandawa keduduanya bersikeras untuk mendapatkan cupu Madiwara, resi Durna sangat repot putusannya, sehingga diperintahkan kepada mereka untuk bersabar terlebih dahulu. Pandawa mengusulkan seyoganya cupu diberikan kepada mereka , sebab para Korawa telah diberinya duluan Pandawa tak rela, mengajukan persyaratan sebaiknya sekarang mana lagi yang berat merekalah yang memilikinya Para Korawa diperintahkan oleh prabu Kurupati menyelesaikan timbangan raksasa, para Korawa menikmatinya daya upaya yang sedemikian itu, tentu saja Pandawa yang hanya berjumlah 5 orang akan kalah kalau di timbang dengan Korawa yang berjumlah 100 jumlahnya. Raden arya Bratasena yang mengetahui saudara-saudaranya susah dan menangis segera bangkit kemarahannya, dan timbangan yang telah dimuati oleh 100 orang Korawa, dan timbangannya yang diperuntukan Pandawa, segera dinaiki sendiri oleh raden arya Bratasena, entah dukarenakan apa kemungkinan raden arya Bratasena mengumpulkan segala kekuatannya timbangan yang telah memuat 100 orang Korawa, Akhirnya tak dapat mengimbangi berat badan raden Bratasena, malahan pada waktu raden arya Bratasena naik timbangan, Korawa kocar-kacir terpelanting jatuh semuanya.

Setelah kejadian tersebut. Para Korawa masih mendesakkan maksudnya hendaknya pandita Durna berkenan meluluskan permintaan Korawa memiliki cupu Madiwara, Durna menjawabnya, " Kalian anak-anakku. Korawa dan Pandawa, saya akan menyucikan diri, hendaknya kalian membuatkan sungai yang jernih airnya. Siapa yang terlebih dahulu selesai, kepadanya cupu Madiwara kuberikan," para Korawa serempak bekerja membuat sungai yang diharapkan nantinya akan segera mewadahi dan mengalirkan air guna susuci pandita Durna, malahan sungai hampir selesai dibuat oleh para Korawa. Para Pandawa, terutama prabu Yudistira, raden Pamade, Pinten dan Tangsen bertangisan, dalam hati mereka mana bisa 5 orang akan menandingi kecepatan 100 orang Korawa, tentu saja cupu Madiwara akan doperoleh orang-orang Korawa, Raden Arya Bratasena merasa dirinya dihina oelh para Korawa kepada saudara-saudaranya diseyogyakan berdiam diri jangan menangis,dia sendiri yang akan melebur para Korawa. Semar yang mengetahui kesusahan para Pandawa segera bersemadi, dipujanya seorang wanita yang sangat cantik, kepada wanita itu diperintahkan untuk berjalan kian kemari dihadapan raden arya Bratasena , seakan-akan meledeknya.

Malahan ditegaskan kepadanya, hendaknya bertingkah apa saja sehingga nantinya raden Bratasena dapat bangkit kebirahiannya. Sudah menjadi kehendak dewa, agaknya raden arya Bratasena memang terlena melihat tingkah laku wanita yang berjalan mondar-mandir dihadapannya dengan penuh membangkitkan selera napsunya. Tak disadarinya keluarlah air maninya,jatuh membasahi bumi tenggelam ke dalam , membentur sumber air yang di dalam bumi, air jernih segera tersembul mancur keluar bak banjir, terjadilah sudah bengawan yang airnya sangat jernih. Pandita Durna yang mengetahui bengawan buatan para Korawa meski sudah jadi tetapi belum mengeluarkan air, segera merendam diri menyucikan diri di bengawan buatan para Pandawa, sesudah selasai segera naik ke darat, selanjutnya bengawan tersebut dinamakan kali Sarayu. Agaknya sudah menjadi kehendak para dewa kalau Korawa selalu mengakali para Pandawa akan selalu menemui kegagalan. Kepada para Korawa dan Pandawa, begawan Durna meminta kesediaannya yang terakhir, barang siapa yang dapat mengalahkan membunuh raden Gandamana, dialah yang berhak akan cupu Madiwara. Korawa setelah menerima pernyataan tersebut segera berangkat mencari raden Gandamana, demikian pula para Pandawa mengikuti keberangkatan para Korawa.

Bertemulah sudah para Korawa dengan raden Gandamana yang sesungguhnya masih pamandanya sendiri. Kepada raden Gandamana prabu Kurupati menyampaikan maksud yang sebenarnya, demikian halnya raden Gandamana menanggapinya dengan marah, dan terjadilah peperangan, Korawa dapat dipukul mundur. Para Pandawa yang mengetahui para Korawa dapat dikalahkan oleh raden Gandamana, akhirnya mendekati raden Gandamana, dan dengan segala kerendahan hatinya mereka menyampaikan maksud kedatangan nya, tak lain diutus oleh begawan Durna untuk membunuhnya, sebab jika hal tersebut terlaksana kepada mereka akan diberikan cupu Madiwara yang berisi lisah tala, yang konon milik almarhum orang tua mereka sendiri saja Pandudewanata. Raden Gandamana dengan asyik mendengar uraian para Pandawa, dan iba hatinya kepada mereka.

Kepada arya Bratasena raden Gandamana menyarankan seyogyanya dia yang menandingi dalam adu kesaktian, jadilah sudah mereka bergelut disaksikan oelh begawan Durna. Berkatalah begawan Durna kepada arya Bratasena, " Wahai anakku Bratasena, lekas bunuhlah si Gandamana."

Arya Bratasena pura-pura membunuhnya, dengan jalan dilemparkannya jauh-jauh raden Gandamana, dan segera melapor bahwa dia telah membunuh raden Gandamana, begawan Durna senang hatinya mendengar laporan arya Bratasena.

Cupu Sarutama dihadiahkan kepada raden Pamade, kembalilah sabg begawan kepertapaan Sokalima, para Pandawa kembali pula ke tempat masing-masing. Korawa masih juga mengamuk, manakala mengetahui cupu Madiwara diberikan kepada raden arya Bratasena, namun dapat dikalahkan.